Kebuntingan berarti suatu keadaan dimana embrio sedang berkembang didalam uterus ternak betina. Secara visual, periode kebuntingan pada umumnya dihitung mulai dari perkawinan yang terakhir sampai terjadinya kelahiran anak secara normal. Satu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi sampai terjadinya kelahiran normal (Partodihardjo, 1980). Periode kebuntingan adalah periode dari fertilisasi atau konsepsi sampai partus atau kelahiran individu muda. Selama periode ini sel-sel tunggal membelah dan berkembang menjadi organisasi yang lebih tinggi yaitu individu. Tingkat kematian periode ini, yaitu ovum, embrio, maupun fetus lebih tinggi dibanding setelah individu lahir. Keluarnya fetus atau embrio yang mati dan yang ukurannya dapat dikenali disebut abortus. Keluarnya fetus yang hidup dan pada waktunya disebut lahir. Keluarnya fetus yang mati pada saat partus pada babi dan hewan lain disebut stillbirths. Lahirnya indiyidu baru sebelum waktunya disebut prematur.
Peleburan spermatozoa denganovum mengawali reaksi kimia dan fisika yang majemuk, bermula dari sebuah sel tunggal yang mengalami peristiwa pembelahan diri yang berantai dan terus menerus selama hidup individu tersebut. Setelah pembuahan, yang mengembalikan jumlah kromosom yang sempurna, pembelahan sel selanjutnya bersifat mitosis sehingga anak-anak sel hasil pembelahannya mempunyai kromosom yang sama dengan induk selnya. Pertumbuhan makhluk baru terbentuk sebagai hasil pembuahan ovum oleh spermatozoa dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: periode ovum, periode embrio dan periode fetus. Periode ovum dimulai dari terjadinya fertilisasi sampai terjadinya implantasi, sedang periode embrional dimulai dari implantasi sampai saat dimulainya pembentukan alat-alat tubuh bagian dalam. Periode ini disambung oleh periode fetus. Lamanya periode kebuntingan untuk tiap spesies berbeda-beda disebabkan oleh faktor genetik. Hewan yang tidak dalam masa estrus akan menolak untuk kawin. Hewan yang tidak bunting, periode estrus dimulai sejak dari permulaan estrus sampai ke permulaan periode berikutnya (Akoso, 1996).
Hormon yang Berperan saat Kebuntingan Ternak antara lain:
a. GnRH (Gonadotrophin Realesing Hormon)
GnRH merupakan suatu dekadeptida (10 asam amino) dengan berat molekul 1183 dalton. Hormon ini menstimulasi sekresi Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan Lutinizing Hormone (LH) dari hipofisis anterior. Pemberian GnRH meningkatkan FSH dan LH dalam sirkulasi darah selama 2 sampai 4 jam (Salisbury, 1985).
FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen. Menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrogen mencapai suatu tingkatan yang cukup tinggi untuk menekan produksi FSH dan dengan pelepasan LH menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan terbentuk korpus luteum dan ketika tidak bunting maka PGF2α dari uterus akan melisiskan korpus luteum. Tetapi jika terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk menjaga kebuntingan (Imron, 2008).
b. Estrogen
Secara alami hormon estrogen dihasilkan oleh folikel yang sedang berkembang, terutama di dalam sel sel granulosa folikel de Graff. Jika folikel de Graff mencapai ukuran maksimum sampai sesaat sebelum terjadi ovulasi, maka dalam waktu yang bersamaan jumlah sel sel teca interna mencapai maksimal. Estrogen merupakan hormon steroid yang berperan dalam merangsang perkembangan saluran kelamin betina, merangsang pelepasan Gn-RH dari hipotalamus dan LH dari hipofisis yang berperan dalam pematangan dan ovulasi folikel de Graff dan mensensitifkan sel sel granulosa untuk berespons terhadap gonadotropin dan merangsang proliferasi serta diferensiasi sel sel tersebut (Whittier et al., 1986).
Hormon estrogen mempunyai fungsi fisiologis yang paling luas dibandingkan semua hormon steroid yang ada dalam darah. Estrogen mempengaruhi susunan syaraf pusat untuk menginduksi tingkah laku estrus pada betina. Hormon estrogen mempunyai peran dalam proses ovulasi melalui umpan balik positif terhadap LH, mempengaruhi uterus untuk dapat meningkatkan endometrium dan miometrium melalui hiperplasia dan hipertrofi sel, perkembangan sifat kelamin sekunder, merangsang pertumbuhan dan perkembangan kelenjar mammae, selanjutnya estrogen mempunyai efek negatif dan positif terhadap hipotalamus dan pelepasan FSH dan LH (Jabour et al. 1993; McG Agro et al. 1994). Pada awal kebuntingan hormone ini sedikit kemudian kadarnya mulai naik pada saat umur kebuntintingan mulai tua. Pada usia kebuntingan 4 bulan akhir sapi akan mengekskresikan 10 X lipat hormon esterogen didalam air seninya dibanding sesudah melahirkan.
c. Progesteron
Hormon progesteron adalah hormon yang dihasilkan oleh corpus luteum, tetapi juga didapati di adrenal, plasenta dan testis. Secara umum progesteron bekerja pada jaringan yang telah dipersiapkan oleh estrogen. Frandson (1992), sebagai hormon pertumbuhan yang berperan dalam proses pertumbuhan kelenjar mammary, bersama-sama dengan laktogen plasenta akan bertanggung jawab terhadap proses percabangan dan pembentukan sel-sel epithel kelenjar ambing (Manalu et al, 1998) hormon progesteron pada ternak sapi dan domba disekresikan oleh plasenta selama stadium akhir kebuntingan, peran hormon progesteron secara fisiologis ada 3 kondisi yaitu selama proses siklus estrus, selama kebuntingan dan pasca lahir. Disebutkan oleh Hafez (1987), bahwa progesteron merupakan hormon kebuntingan karena akan menyebabkan penebalan endometrium dan perkembangan kelenjar uterin dalam persiapan terjadinya impalntasi ovum yang sudah dibuahi dan menjaga selama kebuntingan.
Secara alamiah hormon progesteron dihasilkan oleh corpus luteum (CL), plasenta dan kelenjar adrenal. Berdasarkan sifat kimiawinya hormon ini dapat mempersiapkan uterus untuk memelihara kebuntingan. Kasus kasus aborsi pada kebuntingan muda dibawah tiga bulan lebih banyak ditimbulkan oleh pengaruh kekurangan produksi hormon ini (Macmillan dan Peterson, 1993). Hormon ini mempunyai peranan paling penting dan dominan dalam mempertahankan kebuntingan. Kadar hormon yang meningkat menyebabkan berhentinya kerja hormon lain serta menyebabkan berhentinya siklus estrus dengan mencegahnya hormon gonadotrophin-gonadotrophin. Progesteron dihasilkan di corpus luteum dan plasenta. Apabila sekresi hormon ini berhenti pada setia kebuntingan akan berakhir selama beberapa hari.
Progesteron penting selama kebuntingan terutama pada tahap-tahap awal. Apabila dalam uterus tidak terdapat embrio pada hari ke 11 sampai 13 pada babi serta pada hari ke 15–17 pada domba, maka PGF2α akan dikeluarkan dari endometrium dan disalurkan melalui pola sirkulasi ke ovarium yang dapat menyebabkan regresinya corpus luteum. Apabila PGF2α diinjeksikan pada awal kebuntingan , maka kebuntingan tersebut akan berakhir (Luqman, 1999).
Sumber:
Akoso, T. B. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Frandsond, R.D. 1992. Anatomy dan Fisiologi Hewan. Gadjah Mada UniversityPress.Yogyakarta.
Hafez, E. S. E. 1987. Reproduction in Farm Animal 4 th ed. Lea and Febiger Philadelphia.
Http://etikafarista.blogspot.com/2012/12/makalah-kebuntingan_13.html
Imron, A. 2008. Biologi Reproduksi. Universitas Brawijaya. Malang.
Jabbour H.M., Valehuizen F.A., Green .G, Asher G.W., 1993. Endocrine Responses and Conception Votes In Follow Deer (Dama Dama) Following Oestrous Synchronization and Cervical Insemination With Fresh or Frozen-thawed Spermatozoa. J. Reprod. Fert. 98 : 495-502.
Luqman, M., 1999. Fisiologi Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya
Macmillan, K.L. and A.J. Peterson, 1993. A New Intravaginal Progesterone Realising Device For Cattle (CIDR-B) for Estrus Synchronization, Increasing Pregnancy Rate and The Treatment of Postpartum Anestrus. J.anim. Sci. 33 : 1-25.
Manalu, W. and M.Y. Sumaryadi. 1998b. Mammary gland indices at the end of lactation in Javanese thin-tail ewes with different litter size. Asian-Austr. J. Anim. Sci. 11:648-654.
McG Agro, Jabbour C.H.M., Goddard P.J., Webb R. London A.S.I. 1994. Superovulation In Red Deer (Cervus Elaphus) and Pere David-s Deer (Elapharus Davidianus) and Fertilitation Rates Following Artificial Insemination With Pere David-s Deer Semen. J. Reprod. Fert. 100 : 629-636.
Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta
Salisbury, 1985. Fisiologi Reproduksi Hewan Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
Synchronization in Beef Heifer. J. Anim. Sci. 63: 700-704.
Whittier, J.C., G.H Deutcher, and D.C. Clanton. 1986. Progesterone and Prostaglandin for Etrus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar